Aku teringat betul, waktu itu sekitar jam 2 siang, di luar langit sangat cerah, waktu yang sempurna untuk tenggelam dalam angan-angan. Aku selalu menemukan kedamaian ketika berada di rumah dan ditambah dengan momen seperti ini, semuanya terasa nikmat. Jika kau menanyaiku tentang sebuah ide daydreaming terbaik tentu dengan senang hati aku akan membukukan suasana itu ke dalam sebuah tulisan untuk dijadikan referensi. Lamunanku tak pernah sedamai ini, namun dengan kecepatan yang di luar nalar, sebuah suara membangunkanku. Terdengar sangat jelas, jelas sekali suara itu, biasanya lirih, namun kali ini jernih sekali dan menggaung, “Sampai kapan?” katanya.
Aku kenal suara ini, “Elanor..” batinku dalam hati. Suara itu datang bersamaan dengan sebuah efek garis cepat yang menebas kepalaku dan sebuah tanda seru besar (Jika kau sulit membayangkannya, bayangkanlah sebuah adegan di anime beraliran komedi, seperti itu). Sebuah pengingat bahwa aku masih mempunyai janji yang berulangkali kuhindari.
Elanor adalah sosok yang sangat aku rindukan walaupun sebenarnya tak pernah kuinginkan. Ketika pertama kali nama ini terlintas dalam pikiranku, sebuah tawa mengejek timbul dalam gaung telingaku. “Terlalu berlebihan, mana mungkin orang seperti itu akan menjadi inti dari cerita ini.”. Namun, waktu ternyata membuktikan bahwa kita adalah orang yang mudah terbawa suasana. Elanor lahir dan terus berkembang, dia selalu membuatku terkejut dengan berbagai hal baru yang dia lakukan. Seakan aku belum mengenal penuh dirinya, padahal aku ini kan penciptanya.
Elanor bukanlah satu-satunya yang kuingat pada momen itu. Sudah cukup lama aku tidak menyentuh buah karyaku yang satunya lagi, Backstage Whisp. Jika kuhitung, sudah satu bulan penuh aku tidak memperbaharui apa yang ada di BW. Padahal apa sih yang kurang? Banyak orang yang sudah mulai mengenal BW, publisis internasional dari Hopeless Records pun sudah mengirimkan rilisan pers setiap kali mereka merilis sesuatu yang baru. Jika dipikir, itu benar-benar di luar dugaanku. Yah walaupun aku memang punya target untuk tahun ini, tak pernah kupikir bahwa label internasional sekelas Hopeless Records ternyata mengetahui keberadaan Backstage Whisp. Lalu apa yang terjadi?
Sejujurnya aku pun tidak tahu, selalu ada halangan seperti sebuah mantra yang menahanku untuk membuka halaman admin backstagewhisp.com. “Aku tidak ingin ke sana” kataku dalam lirih.
————————————————————————————
Beberapa bulan yang lalu aku menyelesaikan kuliahku di Universitas Indonesia. Kupikir setelah menyelesaikan bangku kuliah, aku bisa menyusun rencana dan mengeksekusi semua target yang sudah kupasang jauh-jauh hari dengan matang. Nyatanya tidak semudah itu, life sucks eh? Rasanya seperti berlomba dengan waktu, dikhianati oleh idealisme, dan tunduk dalam roda yang berputar. Aku masih ingat, beberapa minggu yang lalu depresiku menjadi-jadi. Dua hari aku tidak berani bertemu orang lain, terjebak dalam pertanyaan basi yang selalu berulang-ulang. Sampai akhirnya sebuah momen menghantamku dengan kerasnya.
Aku tidak mengenal diriku sendiri dan aku tidak tahu sedang melangkah kemana.
Aku tahu bahwa aku tidak sedang berjalan di tempat, aku selalu berjalan dari satu titik ke titik yang lain. Hanya saja, ada satu hal yang belum kupahami, sebenarnya kemana langkahku ini kubawa? Empat puluh tahun dari sekarang, apa yang akan kuingat dalam memoriku?
“Masih banyak yang bisa kita lakukan, mana yang akan kau pilih?” suara itu hadir kembali. Bukan, itu bukan Elanor, gaungnya berbeda, penekanannya berbeda, nadanya pun berbeda. Nada ini terlalu familiar, membawaku kepada masa satu tahun yang lalu. Aku mengenal betul suara ini, inilah suara yang sudah lama kukubur. Diriku yang lain, yang sudah kubunuh beberapa waktu yang lalu ternyata masih hidup.
“Kupikir aku sudah berhasil melakukannya, bergantung kepadamu itu menyebalkan tau.” kataku.
“Aku masih mengamatimu dari kejauhan, ternyata memang benar dugaanku.” katanya sambil tersenyum.
“Apa?”
“Kau tidak seharusnya membuangku.” jawabnya, “Kau pikir siapa yang memberikanmu nama Elanor jika bukan aku?” lanjutnya.
Aku termenung, sudah lama aku ingin membuangnya. Bagi orang lain mungkin ini gila, tapi bagi diriku, dia hidup. Tak ingin dianggap gila adalah salah satu alasanku untuk membunuhnya. “Aku ini orang normal dan kau bukanlah sesuatu yang normal.”, kata-kata itu menyembur dari ingatanku. Momen dimana aku memutuskan untuk mengakhiri dirinya, mengakhiri diriku yang lain, diriku yang selalu kudengar, memberikanku banyak pemahaman dan bahkan meyakinkanku bahwa aku jauh lebih baik dari apa yang kubayangkan . “Kau ini tidak nyata, kita hidup dalam realitas yang berbeda dan sekarang kau kembali lagi untuk membuatku bergantung kepadamu lagi.” kataku kepada suara itu.
“Tidak, tidak seperti itu, aku hanya ingin memberikanmu sebuah pemahaman baru.”.
Aku ingin menanggapinya, namun sebelum hal itu terucap ia sudah menambahkan, “Berhenti sejenak itu bukan sesuatu yang salah.”.
Menyebalkan memang, aku selalu merasa kalah setiap kali berdebat dengan dirinya. Barusan itu memang masuk akal, kalau dipikir aku ini terlalu memiliki banyak target yang ingin kucapai dan hal itu justru mengaburkan fokus yang sedang kubangun. Akhirnya? Yah justru aku tidak tahu mau melakukan apa, aku sudah mencapai titik jenuh dan berhenti selalu menjadi pilihan yang menyenangkan.
“Aku tau kau masih punya nasehat lagi kan?” kataku kepada diriku yang lain. Dia tersenyum, “Baguslah kalau kau sudah tau.” jawabnya.
Percakapan singkat itu membawaku kepada suatu resolusi baru dan itu melegakanku. Paling tidak aku tak harus berhenti sejenak, karena berhenti untuk beristirahat itu layaknya sebuah jerat bagiku yang tak bisa kulepaskan, lagipula aku belum punya penawarnya.
Elanor dan penduduk Genesis sudah lama menungguku, mereka merindukan pencipta mereka.
Berat memang, namun ada kalanya engkau harus berani memilih dalam kehidupan ini. Dalam kasusku sekarang, aku dihadapkan kepada dua pilihan, “Dunia yang kuciptakan” atau “Dunia nyata dimana aku adalah si pemberi komentar”?
Sebelum percakapan itu, semuanya masih abu-abu, tak tau mau kemana, namun ketergantunganku terhadap bayanganku ternyata masih tersisa. Bayanganku memberikanku kepastian atas hal yang selama ini kucari, dialah yang menjawab pertanyaan dari Elanor, “Sampai kapan?”.
Akhirnya..
Pembaca Backstage Whisp yang budiman, untuk sementara waktu aku tidak akan memperbaharui laman favorit kalian. Aku tidak tahu sampai kapan, mungkin mingguan, mungkin bulanan, mungkin tahunan. Untuk saat ini aku hanya bisa berkata, be right back!